MAAFKAN AKU
Oleh:
Wawan AD
Penulis
adalah Guru SDN 2 Cibinong Jatiluhur
Aku harus menerima keputusan
itu! “dijodohkan” satu kata yang tak mau aku dengar karena telah membuat aku
kecewa berat, “menolak”? tentu tak bisa, walau hati ini sedikit berontak,
karena tidak sesuai harapan dan pilihan sendiri, hari ini aku menerima bukan
karena aku mencintainya, “hanya karena ingin melihat kedua orangtua bahagia”,
sekalipun batinku begitu tercabik dengan keadaan ini.
Hari-hari dijalani seolah hampa
dan seakan menyiksa, aku terpaksa belajar menerima kenyataan, entah dengan cara
apa lagi agar aku bisa menerima keadaan ini, bantinku selalu bicara “atas
pertimbangan apa kedua orangtua menjodohkanku dengan Andini?”, padahal aku telah
punya pilihan sendiri, aku akui “ya secara fisik dia cantik, orangnya baik, etikanya
juga baik”, namun sulit hati ini aku buka untuknya, lalu kucoba belajar untuk
mencintainya, “haaah sulit bagiku”, entahlah. Benar kata orang-orang berada pada posisi yang
terpaksa itu sangat tidak meng-enak-kan saat menjalaninya dan itu aku alami
sendiri.
Ketika orang-orang berbicara
kebahagiaan rumah tangga, semua itu belum aku dapatkan dan entah sampai kapan
aku berada dalam posisi penuh kepura-puraan seperti ini, namun semua kecewa itu
lambat laun berubah aku seolah mendapatkan tempat berlabuh, karena ketika berada disampingnya aku merasakan ada kesejukan, kenyamanan juga
kebahagiaan tersendiri, membuat hidup ini jadi lebih bergairah saat menjalaninya.
Perlahan aku jadi berubah
kembali, seakan mendapatkan air ditengah padang pasir disaat dilanda kekeringan
akan cinta dan perhatian, kini ada yang membawakan air sebagai penawar dengan penuh
aroma perhatian dan kasih sayang untuk aku teguk, namun sayang dia itu adalah
teman isteriku sahabat sejatinya.
Aku semakin
dekat saja dengan dia, senyum renyahnya seolah mengandung alkohol yang mampu
membuat aku mabuk kepayang, bisa membutakan pandangan dan menjadikan aku lupa
diri bahwa aku telah beristeri, kedetakan ini lambat laun menghasilkan
kemesraan dan benih-benih cinta yang tumbuh semakin mekar walau bukan pada
tempatnya.
Kegilaan
itu benar-benar telah membutkan mata hatiku, aku semakin tak peduli dengan
nasihat dari rekan-rekan kerjaku sekalipun hati kecil ini sebenarnya mengakui dan
sadar bahwa aku telah mengkhianati Andini, tapi begitu sulit lepas dari dia
teman isteriku sendiri.
@@@
Telah kututup rapat semua
tentang hubungan dan kedekatan aku dengan dia, serapat-rapatnya menyembunyikan
kejelekan itu akhirnya Andini mengetahuinya juga, aku jadi bertanya-tanya
Andini tahu darimana semua itu, padahal tak seorangpun yang mengatahuinya,
kecurigaanku mulai tak berdasar dan menuduh orang-orang disekitar Andini telah
membocorkannya, hingga suatu hari percakapan sengit pun terjadi.
“Din, aku mau nanya sama
kamu?”, Andini begitu dingin menanggapinya!, “soal apa”?, dengan ketusnya. Kamu
tahu semua itu dari mana?, kamu tak perlu tahu aku tahu dari mana mas!, mau
tahu, mudah bagiku untuk membongkar semua keculasan dan perselingkuhan kamu
dengan Tami, “dengarkan dulu aku din”, “apalagi mas yang mesti aku dengarkan”
semua sudah jelas ko.
“Jangan-jangan kamu tahu
semua ini dari pak Angga?, pak Angga? Sambil memicingkan mata dan dahinya sedikit
berkerut, Apa hubungnnya dengan pak Angga? Kamu kan begitu dekat denganya din, tadi
pagi saja aku melihat kamu di lobi hotel begitu akrab denganya, jangan-jangan
kamu semalam tidak dirumah bersamanya juga, jangan pernah menuduh aku seperti itu
mas, aku tak serendah dan senista yang kamu bayangkan, tidak seperti kamu dan Tami.
“Hello, kamu anggap aku
baik-baik saja mas”, setelah perselingkuhanmu dengan Tami semakin terkuak, kamu
tahu gak sih perasaanku, hatiku hancur, remuk berkeping-keping, “ia maafkan itu
salahku din”? “apa kamu bilang”? “maaf”?, setelah kamu bermain hati dengan
Tami, “Tidak mas”!, “sekali lagi Tidaaak”.
@@@
Cinta, perhatian, kasih
sayang semua telah aku berikan dan curahkan hanya padamu mas, beginikah balasannya?,
kamu begitu tega mas mencampakan, menyia-nyiakanku, dan jauh lebih menyakitkan
lagi kamu lakukan pengkhianatan ini dengan Tami sahabatku sendiri, teman
dekatku.
Jelaskan sepatal apa
salahku? Andini terus saja bertanya pada suaminya, “terus maunya kamu apa sih?”
Rendi ngotot balik bertanya dengan suara
agak meninggi, “aku mau kita pisah mas”. Jawab Andini sambil berlalu meninggalkan
Rendi.
“Maafkan aku din”, aku tak
berniat menduakan, membuatmu bersedih, kecewa dan terpukul apalagi sampai mengiris
serta menggoreskan luka dihatimu, sama sekali itu bukan niatku, semua aku
lakukan “karena cintaku bukan untukmu, tapi untuk Tami”, saat bibirmu tak
sanggup berkata seakan terkunci begitu rapat, tetes air mata yang basahi pipimu
menjadi jawaban atas segala gundah yang melanda, “maafkan aku, sekali lagi maafkan
aku diin”. Pinta Rendi.
Kamu terlalu baik buatku dalam
segala hal, sesempurna itu Tuhan kirimkan sosok bidadari untuk diriku, namun entah
kenapa sampai saat ini aku masih saja belum bisa mencintaimu seutuhnya dan
bagiku itu sungguh sangat melelahkan.
Disaat harus menjalani hari-hari
bersama orang yang tidak aku cintai, berat rasanya, apakah berada dalam
keterpaksaan? Jelas, sangat tak mengenakan berada dalam posisi seperti ini, aku
berusaha baik-baik saja dihadapan kedua orangtua agar mereka bahagia, namun di
balik itu aku sangat tertekan dengan semua sandiwara yang aku buat sendiri.
Aku coba curahkan beban berat
yang bergelayut dihati pada orangtua, namun “haahh” percuma mereka tidak paham
dan tidak mengerti perasaan dan posisiku, semua begitu menyiksa telah membikin
hari-hariku kelabu, aku coba selalu tersenyum dihadapan orang-orang walau
sayatan-sayatan luka mulai mengiris kesunyian dan luka ini kian menganga walau tak
berdarah, pedih gaes.
Aku sudah prediksi sedari
awal karena cinta tidak pernah ada dalam hubungan kami, jadi rumah tangga yang
dibangun harus berlandaskan cinta dan kasih sayang, saling menjaga, melindungi
satu sama lainnya, saling menghargai, mengasihi, juga bisa memaafkan atas segala
kesalahan dan bisa mengisi kekurangan masing-masing, ketika tidak ada itu semua
dalam ikatan batinnya, maka keberlangsungan hidup berrumah tangga akan terasa
hampa.
Kian hari hubunganku dengan Andini semakin
tidak sehat, hingga kata pisah menjadi eksekutor dari segala masalah, “cerai” sekalipun
tidak diharamkan tetapi Tuhan sangat membencinya, namun aku terpaksa memilih jalan takdirku
sendiri, “maafkan aku diin”.
Leres mang, abdi mah teu ngabocorkeun...taroskeun ka mang endank cobi... Haha.
BalasHapusSip. Alurna bagus mang. Tp mdh2an bkn kisah nyata. Karunya andinj..
Hahaha....
HapusBila ada kesamaan latar atau nama tokoh ini hanya cerita fiktip belaka..hehehe