BENIH ITU MASIH ADA
Oleh: Wawan AD
“Nun, mau kemana?”, Tanyaku pada Nuni, ia hanya
memicingkan matanya, “ah, kamu kepo”, jawabnya ketus, “oh begitu”, jawabku
sambil tersenyum, lalu Nuni menimpali, “nanti aku kasih tahu ya” katanya sambil
berlalu dan sedikit berlari agak rusuh seolah ada yang hendak di selesaikannya,
“Ok” jawabku singkat, “kamu pulangnya gak bareng aku”, “enggak” singkat, “aku
ada yang jemput”, katanya. Aku dan Nuni sudah lama berkawan semenjak perkenalan
pada acara OSPEK Mahasiwa baru di kampus.
Sejak kejadian itu, kurang lebih sudah 3 hari ini aku
tak ketemu dengannya, tiga hari bagiku waktu itu serasa tiga bulan, “kemana ia
ya?”, tanya dalam benakku, lamunanku melayang ke angkasa, “kenapa aku harus secemas
ini?” aku coba buang jauh rasa itu.
Kuliah tak masuk, ia menghilang entah kemana, Hand
Phone-nya tak aktif, aku susul ke kostan-nya tidak ada, aku tanya
keteman-temannya enggak satupun yang tahu keberadaannya, aku menjadi khawatir
dibuatnya gundah dan semakin tak tenang, perasaanku menerka-nerka apa sebenar
yang terjadi?. “Ah, sudahlah” bisik hatiku, lagian dia bukan siapa-siapanya
aku, ngapain aku harus cemas dan khawatir, ia hanya teman tak lebih “hanya
teman” aku berusaha menegaskan kesekian kalinya dan berusaha menekan untuk menetralkan
hati.
Bagaimana aku tak cemas, aku sudah tiga tahun
berkawan, “sangat dekat dengannya namun tak pernah ada kesepakatan atau kata cinta
yang terucap, seolah hubungan tanpa status, status tanpa hubungan, teman tapi
mesra”, begitu kira-kira. Suka duka di bagi bersama, berangkat kekampus bareng,
pulangpun demikian, kadang aku harus mengunggu sampai ia beres kuliahnya. Ya
kadang aku jail padanya, Nuni juga kadang jail padaku, ketika aku berada dalam
kesusahan Nuni yang mampu memberikan solusi atas masalah yang dihadapi, maka ketika
Nuni menghilang kenangan itu muncul menghiasi lamunanku dan aku rindukan itu
semua.
Ditengah hati yang terus bertanya-tanya, aku ketemu
Nuni dalam keadaan lusuh, muka pucat, bibir kering, entah apa yang telah
terjadi padanya, aku tak banyak bertanya, hanya diam membisu, tak ada sepatah
katapun, apalagi obrolan yang seperti biasa ketika bertemu yang ada saja
bahasannya, aku larut dalam keadaaan itu, terdiam.
Tanpa kata Nuni merangkulku dan menangis
sejadi-jadinya, seolah memberitahu dan ingin menumpahkan segala keluh kesah
yang dialaminya sekarang ini, aku semakin bingung, “ada apa?” tanya dalam hati.
Aku diamkan saja ia nangis dipundakku, agar segala bebannya terurai bersama
menetesnya air mata yang terus membanjiri pundakku, “biarlah aku jadi sandaran
saat ia berada dikubangan masalah”. gumamku .
Nuni sampai sekarang masih saja bungkam soal masalah
yang dialaminya, aku tentu tak berhak masuk ke ranah priviasi apalagi memaksanya
untuk berterus terang menceritakan semua, karena aku juga tahu diri.
Seiring berjalannya
waktu, informasi aku dapatkan dari temen dekatnya itupun sedikit aku paksa
untuk berterus terang, “Gea” seakan ragu untuk menyampaikan itu padaku, namun
ia mulai menceritakan semua bahwa orangtuanya melarang Nuni berdekatan dengan
diriku, tentu tanpa penjelasan yang rincipun aku sudah dapat menebak kearah
mana tujuan tersebut. Aku sudah dapat tafsirkan sendiri. “Maksih ge”, ucapku singkat pada Gea.
***
Kadang kita tak mampu meninggalkan untuk menunggalkan,
mengubah status aku dan kamu menjadi kita, karena terkadang kita terlalu
matematis dan realistis padahal kehidupan sendiri penuh misteri tak dapat kita
tebak.
Lagi pula aku juga bukanlah sultan yang segalanya ada “harta
apalagi takhta”, aku hanya punya cinta tulus sekalipun belum aku ucapkan tapi
gerak dan perhatianku selama ini kiranya sudah mewakili rasa yang menggebu
dalam dada dan siap berjibaku mewujudkan semua yang kita impikan, “hanya itu”.
Kita memang
berbeda kasta, aku sangat menyadari soal itu, semuanya sulit untuk dicarikan
titik temu dan tak mungkin dapat dipaksakan, kekhawatiran orang-orang
sekeliling kita akan hal yang belum terjadi sudah meracuni semua alam pikiranmu
dan mereka terlalu matematis dalam menyikapi tentang kehidupan ini, seolah
Tuhan ini tiada. Ketakutan pada kekayaan dan kesenangan semata, hanya itu yang
mereka takutkan, soal perut, kedudukan dan kekayaan.
***
Perjalanan panjang mengantarkan aku untuk terus mengarungi
kehidupan, pahit, getir dan jenuh telah menemani sepenggal jalan ini, namun
seutas senyum mampu memberikan keteguhan serta efek positif agar aku mampu
bertahan dari segala badai yang menghampiri. “Ya hanya senyummu”, senyuman yang
seolah mengandung alkohol karena mampu membuat aku mabuk kepayang.
“Kenapa rasa ini sulit aku buang jauh dalam hati?”,
gumamku, padahal aku tahu, kamu bukanlah siapa-siapanya aku, “duuh”, aku menarik
nafas agak panjang, seolah ingin melepas beban rindu yang kian membeku. Aku sadar
rasa ini terlalu liar berada dalam khayalku, tak mungkin akan ada rasa yang
sama dan sejalan dengan gundahnya rasaku. Aku yang terlalu ke-PD-an dalam menafsirkan
senyuman itu.
Tersiksa rasa seperti ini sungguh sangat tak
mengenakan, aku terus saja dibayangi rasa rindu akut tingkat dewa namun apa
daya, rindu yang berbalas, mungkinkah?, salahkah bila rindu itu semakin
bersemanyam dalam dadaku.
Rasa itu masih ada
dan bersemayam di lubuk paling dalam dipalung hatiku hingga saat ini, sekalipun
bibirku masih saja bungkam soal rasa, biarlah hanya sebatas angan.
.
Cinta yang terpendam, cinta sejati tak harus memiliki. Right! Kamu yg tak tersebut namamu...😊
BalasHapusMencintai belum tentu memiliki.
HapusMemiliki belum tentu dicintai..yang terbaik saling mencintai dan memiliki😅
Rasa cinta yang tertata, akan lebih indah bila terucap nyata hahhaha
BalasHapusMalu malu kayanya bu haji😅🙏
Hapus