IBU MALAIKATKU
Oleh: Wawan AD*
Semua tentu terkejut dengan pertanyaan yang
dilontarkan, karena tak seperti biasa Pak Imam bertanya demikian, biasanya
hal-hal yang lumrah yang ia tanyakan dalam mengawali pertemuannya, perihal
keadaan atau tentang situasi kondisi hangat hari ini, baik masalah agama,
sosial, budaya, ekonomi maupun soal politik, tak ketinggalan masalah covid-19
yang begitu menggemparkan dunia.
Belum sempat ada yang menjawab pertanyaan pertama,
pertanyaan kedua tak kalah membuat aku terperanjat, “siapa yang pernah membuat
ibunya menangis, dengan ucapan dan sikap yang di lakukannya”?.. serasa ada yang
menonjok pada ulu hati di bagian atas, Beg..dugg....dunia menjadi pengap
rasanya, padahal ruangan kelas begitu luas bahkan ber-AC, tak terasa di mataku ada
yang hangat memaksa keluar, mata mulai berkaca.
Suasana semakin mencekam, tak ada sepatah kata-pun
keluar dari orang-orang yang hadir waktu itu, semakin sunyi saja. “Dua
pertanyaan yang diajukan pak Imam, sulit untuk dijawab, karena kita sama-sama
pernah melakukan perbuatan nista itu”. Bisik hatiku, mulut terasa berat
mengucapkannya.
Sungguh pertanyaan yang sangat menohok, dan membuat
semua jadi tersadar atas sikap yang pernah dilakukan, perlakuan yang sangat
tidak terpuji membuat hati orangtua tersakiti.
“Satu hal yang harus kalian ingat”, lanjut pak Imam
dalam pembicaraannya, bahwa sedari awal semuanya sudah membuat orangtua sibuk
dengan hadirnya kalian lalu tumbuh dan berkembang, ini tentu semakin menambah
kerepotan keduanya, sungguh sudah keterlaluan apa yang kalian perbuat dan lakukan kepada mereka berdua.
Masih dalam suasana hening, Jika dua hal yang saya
tanyakan itu pernah dilakukan oleh kalian semua, pak Imam menegaskan kali
kedua. “Pulang di ruangan ini kalian
semua langsung mohon maaf pada keduanya”. Jangan tunggu waktu, sekarang
lakukanlah, mumpung orangtua kita masih berada. Jauh akan lebih menyakitkan
bila keduanya sudah tiada mangkat untuk selamanya. “Pada siapa kita mengadu dan
memohon maaf”, Pak Imam mengakhiri pembicaraannya.
Berbeda dengan biasanya, entah apa yang sedang terjadi
dengan Pak Imam, hingga melontarkan dua pertanyaan yang sangat sulit aku jawab,
sekalipun pertanyaan itu sebenarnya keluar dari topik pembahasan utama pada
materi kuliah, tetapi materi soal kehidupan ini membuat aku tersadarkan.
@@@
Terkadang kita berani pergi menempuh jarak yang jauh kiloan
ribu meter untuk mencari mustajab doa, bahkan sekalipun berada diujung dunia tetap
didatangi, sebenarnya yang kita cari itu ada di rumah masing-masing, kita lupa
bahwa ibu adalah sumber dari segala sumber yang ada yang kita cari, karena dari
doa dan rido-nya akan menghantarkan kita pada kehidupan yang diharapkan, ingat!
“bukan sebatas kebahagiaan dunia lebih dari itu adalah kehidupan nanti yang
kekal abadi”. Apa, bagaimana dan kemanapun kita cari serta usahkan untuk
menggapai kebahagiaan, tapi sekali saja kau gores luka hati ibumu, jangan harap
hidup ini akan di penuhi oleh keberkahan, semua akan menjauh dari hidup kita dan
tak mungkin di dapatkan.
Tak akan habis dan ada ujungnya ketika membicarakan sosok
yang sangat aku sayangi, patuhi, yang mana ucapnya jadi doa, kasih sayangnya
jadi penenang dalam setiap gundahku, ya itulah sosok ibu. Ibu lebih mencintai
oranglain yaitu anak-anaknya dari pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak ia berani
terjaga dalam setiap malamnya, demi buah hatinya yaitu aku, apapun demi anak-anaknya
ibu utamakan.
Mengingat dan mengenang jasanya tak pernah ada habisnya,
bagaikan kasihnya yang tak berujung, demikian ibu dengan tulusnya mengurus dan
membesarkan buah hatinya tanpa pamrih.
Bibir terkunci, lidah kelu, gemetar, tak mampu berucap,
kerongkongan enggak kuat menahan dorongan suara yang ingin meledak-ledak dari
dalam, yang terus saja meronta-ronta ingin lepas, menggedor dinding mulut,
namun aku tahan sekuat tenaga, agar tangis tak pecah, air mata aku tahan juga agar
tak menetes. Namun apa daya, tembok pertahananku akhirnya bobol juga tak mampu
membendung derasnya air kesedihan yang begitu menghanyutkan segala rasa dalam belenggu
anganku.
Teringat ibu yang sudah tiada mangkat untuk selamanya,
aku yang terus menyusahkan dan membuatnya repot, ibu mengurus dan membesarkan serta
mendidik-ku, hah...”aku menghela nafas agak panjang”, ingin membuang beban,
rasa bersalah yang terus saja membayangi dan bergelayut di lubuk hati, berat rasanya
melepasmu, namun apa daya, kehedak-Nya tak bisa ditolak. Aku yang baru
menyadari arti dari kehilangan, sungguh bodoh, dan sangat terlambat, setelah berlalu
kepergiannya, kerinduanku padamu, sungguh tak menemukan obatnya. Bagaikan
majnun merindukan Laila yang tak bertepi.
Saat aku masih merangkak menemukan segala asa, untuk
aku wujudkan dan persembahkan, kini ibu telah mangkat untuk selamanya, mataku berkaca-kaca.
Bahagialah bagi mereka yang masih mempunyai ibu, malaikat tak bersayap itu
jangan pernah kau sia-siakan. Engkau lautan kebahagaian, samudera ketenangan,
obat dari segala keluh kesahku, herbal termahal yang tak tersedia di apotek
manapun, tiada lain adalah tetes hangat air mata ibu yang membasahi ubun-ubun
ini, yang tentu tidak akan aku dapatkan lagi. Kau segalanya bagiku. Ibu maafkan
aku, anakmu ini yang belum bisa dan maksimal membuat-mu tersenyum. Semoga engkau
bahagia di taman Firdaus-Nya.
*Adalah nama pena dari Wawan Hermawan,
berkhidmat di SDN 2 Cibinong Jatiluhur Purwakarta, beberapa tulisannya baik
Essai, Puisi dan Cerpen tersebar
dibeberapa antologi.
Sae tulisanna. Ngemutan tur janten lenyepaneun..
BalasHapusHaturnuhun pangersa
HapusAllohumagfirlaha warhamha, waafiha, wafu'anha
BalasHapus