SELAMAT JALAN KAWAN
“Selamat Jalan Kawan”
Oleh: Wawan AD*
Kabar yang membuat begitu mengagetkan? karena tidak terdengar sakit sebelumnya,
kawan satu ini banyak menyimpan kenangan, pada masa sama-sama belajar ngaji
ke al-mukaharom yang terhomat Ust. Jalaluddin (al-marhum) di salah
satu kampung kecil tepatnya di daerah Talun, semoga Allah Swt tempatkan guruku ini di taman firdaus
yang penuh dengan kedamaian. Aamiin.
“Ayut” begitu orang memanggilnya, padahal nama aslinya adalah “Tubagus
Karyadin” begitu nama kawan masa kecil saya itu, berkawan cukup lama, masa
kecil saya habiskan di kampung dari satu majlis ke majlis yang lain bersamanya,
untuk menimba ilmu agama dan menggali sejuta hikmah dari para guru dikampung.
Layaknya anak zaman dulu tahun 80 90-an tentu saya mengalami masa-masa
indah zaman itu, dimana pada saat ngaji masih memakai penerangan yang
terbuat dari kaleng bekas susu yang bahan bakarnya minyak tanah dan sumbu
penyambung terbuat dari kain bekas yang menghubungkan minyak tanah dan apinya,
alat itu rasanya paling modern pada zamannya.
Saya berangkat ngaji bareng bahkan harus meninap ditempat
pengajian bila malam tiba dengan yang lainnya sebagai (santri kalong),
masa itu tentu tak mungkin bisa ulang kembali dan begitu indah pada masanya.
Padahal alas tidur waktu itu hanya tikar tanpa bantal apalagi selimut, proses
pembelajaran hidup seadanya sederhana ini begitu membekas pada pembentukan
pribadi saya kedepan dalam mengarungi samudera kehidupan.
Selain itu saya hidup dilingkungan kampung, semua permainan layaknya
yang dilakukan anak-anak kampung pada masa itu dan itupun saya ikuti. Seperti sebelum
tiba waktunya ngaji saya ucing-ucingan (main petak umpet) atau mengbal (main
bola) terlebih dahulu bersama rekan dan berbagai jenis permainan lainnya.
Bila malam tiba setelah selesai pengajian dan ingin pulang saya berdua
dengannya harus melintasi pasir dan sedikit memasuki hutan membawa colen (obor)
sebagai alat penerangan, karena jarak tempat mengaji dan tempat tinggal lumayan
cukup jauh, panjangnya perjalanan saya tempuh dengan jalan kaki disaat pulang
dan pergi, obor yang dibuatpun sederhana seadaanya, bukan layaknya obor pada
umumnya tapi hanya belahan bambu yang di iri-iris, terkadang saya tidak membawa
alat penerangan apapun, modal nekad.
@@@
Setelah selesai masa SMP saya melanjutkan ke SMA dan ikut nyantri
di Cimuntuk Sukatani, sedangkan Ayut waktu itu melanjutkan sekolah juga nyantri
di wilayah Bongas Simpang tepatnya di Pesantren al-Asy’arie.
Setelah sama-sama melanjutkan sekolah dan Mondok pertemuan saya
dan Ayut terbilang jarang karena saya jarang pulang ke lembur (kampung)
demikian dengan Ayut. Kemudian saya melanjutkan sekolah dan lama tinggal di
daerah Cileunyi Bandung.
Apalagi sekarang kita sudah punya tanggungjawab lebih (berumah tangga)
hingga kami jarang bertemu, karena sibuk dengan urusan masing-masing setahun
sekalipun bisa dihitung jari.
Maka ketika mendengar kabar duka itu tentu begitu mendadak bagi saya,
karena sebelumnya tidak terdengar kabar sakit apalagi dirawat. Tepat pada hari
Sabtu tanggal 01 Oktober 2022 mang Ayut pergi untuk selamanya, meninggalkan
dunia pana ini untuk menghadap yang maha suci.
Innalillahi wa inna illaihi roji’un, begitu bibirku lirih
berucap.
@@@
Kematian adalah sebuah kepastian akan melanda siapa saja yang bernyawa,
namun waktunya misteri, tidak seorangpun mengetahui kapan waktunya, benar-benar
misteri karena tidak bisa dideteksi, siapapun itu, baik yang sudah tua atau
muda, laki-laki ataupun perempuan, pejabat demikian dengan rakyat.
Saya tak menyangka, Alloh begitu cepat menjemputmu kawan. Setiap yang
bernyawa pasti akan mengalaminya, harus takutkah menghadapi itu semua? secara psikologis
tentu setiap orang berbeda-beda dalam menerima dan menafsirkanya, tetapi tidak
usah takut, apalagi panik karena semua akan terjadi.
Tentu bukan kematiannya yang harus kita takutkan, tetapi setelah
kematian itu, karena setiap detik kehidupan di dunia yang telah kita jalani akan
dimintai pertanggung jawaban. Pertanggungjawaban
itulah yang membuat kita takut.
Kabar duka itu tentu mengingatkan kita akan eksistensi hidup, karena
sejatinya kita akan kembali juga. Semua menjadi ibroh bagi kita yang
masih hidup, untuk berbenah dan mempersiapkan bekal menuju kehidupan setalah
kematian, karena kematian bukan akhir dan kesudahan dari segala tapi babak baru
menuju keabadian.
Do’a terbaik untuk al-marhum, dia kawan baik saya,
sebagai anak dia taat dan patuh pada orangtua, sebagai ayah ia mampu memberikan
tauladan bagi anak-anaknya juga penyanyang, sebagai suami ia suami yang baik
dan sebagai kepala keluarga ia bertanggungjawab atas semuanya.
Semoga al-marhum ditempatkan di sisi-Nya yang layak, di ma’afkan
segala khilapnya dan ditempatkan di Syurganya dengan penuh kedamaian,
Kawan engkau telah terbang tinggi menuju keabadian dalam pelukan
pemilik-Mu, semoga diiringi ridhonya Alloh Subhanahu wataala. Selamat jalan kawan, Al- fatihaah…
*Wawan AD
adalah nama pena dari Wawan Hermawan, penulis mengabdikan diri di SDN 2
Cibinong Jatiluhur Purwakarta, menempuh Pendidikan S 1 di IAIN Bandung dan di
UT UPBJJ Bandung, telah menerbitkan 4 buah buku solo dan 26 buah buku antologi.
Aktif di KPPJB dan komunitas menulis lainnya juga aktif menulis dilaman blog
pribadi.
Inna lillahi wa inna ilahi rrrttoojiuun...
BalasHapusMuga husnul khatimsl
Aamiin ya rabbal alamin...haturnuhun doanya pa dail
HapusSelamat jalan. Doa terbaik untuk mang Ayut...
BalasHapusAamiin ya alloh..nuhun mang
Hapus