PISAH

 

 


An, aku belum punya semua itu, dahinya sedikit berkerut “apaa?” tanya Anisa padaku, semua yang diharapkan kedua orangtuamu, “soal apa” desak Anisa, “ya, apalagi kalau bukan soal harta, jabatan dan kedudukan”, jawabku, Anisa terdiam duduk lesu dipinggirku, “Ya, kita coba berusaha dulu Mas”.

 “semua perlu proses An, dan itu tidak mudah, tidak segampang membalikan telapak tangan, perlu waktu, aku sudah maksimal, bila melihat situasi sulit seperti ini, jangankan orangtuamu, “kamu sendiri seolah tak yakin An”?, apalagi Mas yang harus di buktikan agar dirimu yakin dan tak meragukan Nisa. Anisa balik menatapku penuh keheranan, namun dari pancaran matanya aku bisa menangkap ada kabut keraguan terselip yang tidak bisa dibahasakan.

 Anisa berpostur sedikit tinggi, badannya padat berisi dan memiliki kulit putih, rambutnya yang panjang terurai mulai tersibak semilir angin malam, aroma minyak wangi yang digunakannya mulai menusuk hidungku, semerbaknya menyeruak setiap penjuru dalam ruangan itu, terlihat oleh ujung mataku agak memerah diwajahnya, apa karena tersinggung perkataanku tadi atau hanya karena tersorot temaram lampu malam. Entahlah.  

 Maafkan bila bahasa dan tutur kataku, banyak yang menusuk, menggores dan melukai benakmu, sekali lagi aku tak bermaksud lakukan semua itu padamu An, “it’s oke Mas Nisa paham”, jawabnya. Aku hanya ingin melihat dirimu menjadi diri sendiri, tersenyum dan bahagia, tidak selamanya berada dalam bayang-bayang orangtua, hanya itu tidak lebih.  

 Aku hanya seorang lalaki biasa yang tak diharapkan kehadirannya sama kedua orantuamu, aku sadari memang orantua mana yang menginginkan anaknya berada dalam kubangan dan lembah kemiskinan, namun bukankankah itu masih bisa di ikhtiarkan, selama kita masih berada di kehidupan dunia ini, jadi tidak ada yang tidak mungkin, semua serba bisa, sejauh mana kita berusaha maksimal atas itu. Tapi aku sulit yakinkan itu semua pada orangtuamu, karena kebencian telah menutup semua pandangannya.

 Bukankah sedari awal kita dilahirkan tanpa sehelai benangpun yang menempel pada tubuh ini, dan saat meninggalkan dunia pun kain yang menempel di badan itu karena jasa orang lain yang membantu menutup aurat kita, tidak ada barang yang dibawa selain amal kebaikan, lantas apa yang mesti di risaukan, sama sekali tidak ada. Jadi ketakutan kedua orangtuamu selama ini hanya sebatas soal harta dan kedudukan, padahal semua itu fatamorgana.

@@@

Aku mengenal Anisa cukup lama, dipersatukan dalam pelaksanaan program kampus yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kawasan Ciseeng Kabupaten Bogor, dari sanalah awal benih-benih itu mulai muncul, aku yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja mencoba memberanikan diri nyatakan segala rasa, rasa yang terus saja mengoyak-ngoyak dan bergemuruh dalam dada, aku hanya bermodalkan cinta yang tulus, memiliki tekad kuat dan akan berusaha maksimal serta bertanggungjawab, ternyata itu tidak cukup.

 Sedangkan Anisa berasal dari keluarga berada dan terpandang, tentu ketimpangan ini menjadi dasar kedua orangtuanya menentang habis-habisan hubungan kami. Karena alasan yang dilontarkan diriku waktu itu terlalu klasik dan tidak termasuk dalam kriteria mereka, padahal sekuat tenaga kupertahankan jalinan ini, namun apa daya.

 Andai saja waktu bisa diputar, tentu langkahku akan dipaksa berhenti agar tidak terlalu jauh menelesuri palung kalbu, namun nyatanya aku tak bisa, karena rasa terus saja mengalir alami mengikuti irama semesta, disaat rasa itu sudah mengalir bersama aliran darah menjalar menulusuri sekujur tubuh, tumbuh dan berkembang, namun harus layu sebelum dapat kupetik. Aku sadar, aku hanya manusia biasa yang tak punya apa-apa, baik jabatan, harta dan benda, yang tentu dalam penilaian orangtuamu adalah sebuah aib dan kehinaan.

 Berjuang untuk mendapatkan perhatian dari Anisa tak mudah, perlu waktu untuk luluhkannya, perjuangan panjang dan berliku itu akhirnya mampu menembus benteng pertahanan hatinya hingga Anisa mau menerimaku apa adanya bukan karena apa-apa ada, sekalipun pada akhirnya restu kedua orangtuanya membuyarkan semua khayalku yang telah disusun selama ini, mereka mencoba pisahkah kami dengan segala cara, pahit rasanya. Kata “pisah” menjadi kata yang aku benci pada saat itu.

 Perpisahan adalah virus dalam kehidupan, tidak ada yang mampu mengatasinya, termasuk para ahli di belahan dunia manapun, tak seorangpun diantara mereka yang sanggup menemukan anti viris itu. Dengan persisahan teman melupakan teman lainnya, bahkan seorang kekasih tega melupakan pasangannya.  

 Kata pisah seolah menjadi hantu yang terus bergentayangan, mengisi ruang-ruang yang ditinggalkan oleh orang-orang, demikian dengan diriku hari ini, aku meninggalkan dirimu bukan karena aku tak cinta, tak peduli dan tak sayang, tapi apalah daya orangtuamu tak merestui kisah kasih ini terjalin diantara kita, dan aku tidak mungkin paksakan, sekalipun semua telah aku usahakan, namun jalan takdir kita berbeda.  “Maafkan aku An”, sambil melepas beban berat melalui nafas agak panjang, haahhhh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HATIKU MASIH UNTUKMU

KETUA PC GP ANSOR KABUPATEN PURWAKARTA BAGIKAN SERAGAM

HERA, MAAFKAN AKU