SEPATAL APA SALAHKU
Oleh: Wawan AD
(Penulis mengabdikan diri di SDN 2 Cibinong
Jatiluhur Purwakarta)
Aku tak menginginkan hal ini terjadi, jalinan komunikasi terhambat oleh signal
keegoan, selain jarak dan waktu jaringan juga terganggu dugaan-dugaan tak
berdasar, tower ruksak karena hal setitik yang tak seberapa akibat salah dalam
menafsir tentang kondisi yang ada, “mengapa hal ini terjadi”?, tanyanya”, “aku juga
tak tahu”, jawabku sambil menatap kearahnya.
“Apa yang telah kamu lakukan An”, tanya Riska padaku, “Aku hanya
menggelengkan kepala”, tanda tak tahu, “ah masa”, desaknya, “iya teh suerrr”,
jawabku penuh yakin sambil mengangkat kedua jari, “kalau dia semarah itu
berarti ada sesuatu An” lanjutnya, “entah aku tak paham”, Andini menegaskan.
Dalam kehidupan selalu saja menghadirkan dua sisi yang beda dan
berlawanan, “ini merupakan sunatulloh”, lanjutku, karena kita tidak bisa
menolaknya, ada hal fositif tentu ada lawannya negative, ada bulan ada matahari,
ada langit ada bumi, ada musim hujan ada musim kemarau, pun demikian ketika ada
kesetiaan akan ada para pendusta disebrangnya dan itu semua tidak bisa di
hindari.
“Aku selalu berusaha maksimal menjadi penjaga dari setiap janji yang
terucap, walau janji itu tak pernah tertulis secara resmi, tetapi akan selalu
ku jaga apapun keadaannya, kata setia seolah menjadi pematik bagi diriku, bukan
hanya pemanis bibir semata, tetapi menyeluruh tercermin dalam sikap dan
perbuatan, maka ikatan hubungan akan erat kaitannya dengan kesetiaan, ketika
sudah tidak ada lagi kesetiaan dan kepercayaan maka ikatan dengan sendirinya
akan game over”. Pungkasku pada Riska.
“Orang baru memang menarik, tapi ingatlah, dia belum tentu terbaik”,
kehadiran orang ke 3 benar-benar menjadi Tsunami yang melanda ikatan hubungan diriku
dengan mas Hakim, padahal sekuat tenaga aku telah berusaha maksimal menjaga itu
agar tetap lestari namun apa hendak dikata, ada saja hal diluar nalar ikut
mencampuri urusan dan memperkeruh suasana, hingga menjadikan hubunganku retak,
dihadapkan pada situasi itu, aku sedikit kalut dan terguncang.
@@@
Jiwaku
sedikit tertekan, karena aku dituduh mas Hakim bermain dibelakangnya, padahal
sama sekali tidak pernah aku lakukan dan itu tidak terbukti, aku tetap setia. Justru
mas Hakim sendiri yang curangi aku, fakta itu diputar balikan menjadikan
posisiku semakin terpojok, luka itu sampai sekarang masih saja menganga dan
terasa pedih.
Apakah ini
sifat dasar manusia?
Namun ketika
hubungan dengan sang pencipta tidak
mesra, tidak mampu menjalankan segala titah-Nya, seakan tidak panik, tidak risau, tidak
pernah jadi beban, seolah bukan masalah besar.
Difitnah, diacuhkan dari persahabatan, bahkan diusir dari rumah, masih
saja bisa mencari teman dan rumah yang lain, coba kalau bermasalah dan diusir
oleh pemilik semesta ini hendak kemana kita pergi?
Masalah
melanda pada intinya untuk terus
memantaskan diri agar tumbuh dan berkembang menuju ke arah yang lebih baik, penempaan
melalui berbagai macam masalah adalah ujian alam yang tidak bisa dihindari,
karena mungkin bisa saja akan dijadikan manusia pilihan. Tapi manusia jarang
tersadarkan akan hal itu, termasuk diriku.
@@@
“Ya sudah kalau itu inginmu”, timpalku
dengan nada agak serius, Hakim hanya
diam membisu tak bergerak kaku mematung tepat didepanku.
“Maafkan aku mas”, ucapku lirih,
“Aku tak akan larutkan diriku dalam hal apapun”,
lanjutku.
Sekalipun dirimu memohon, aku tak mungkin
bisa melakukannya lagi, cukup sampai disini dan cukup aku yang mengalami.
Jangan sampai hal ini terjadi dan melanda yang lain, karena belum tentu mereka mampu
memahami serta mau memaafkan. Bagiku ini adalah pelajaran yang berarti, walau
pahit. Hakim hanya menatapku.
Maafkan aku mas bila masuk terlalu jauh
dalam hidupmu, aku tak berniat apa-apa
dari yang aku lakukan, aku
hanya ingin melihatmu bahagia tersenyum, hanya itu tidak lebih, memudahkan
dan memberikan kabar baik padamu, karena sebelumnya juga aku lakukan demikian,
tak masalah dan tak dipermasalahkan.
@@@
Kalau
selama ini ada asumsi dan penilian lain soal diriku, silahkan itu hak kamu mas,
aku tak mungkin melarangmu dan memberikan pembenaran serta penjelasan bahwa aku
ini orang baik tanpa cela, sangat tidak mungkin aku lakukan dan aku sadari
bahwa aku tidak sesempurna Khadijah al-kubro, sesuci Aisyah ar-ridho, dan
sebaik Fatimah Az-zahra, justru aku hanya manusia biasa yang banyak kekurangan
dan khilapnya dan masih jauh dari kata sempurna.
Komentar
Posting Komentar